Find Me Here

Where else you can find Rina online?... :)

Saturday, June 17, 2006

a spoon of memory for soul - The Colourful Friendship

Talking about memory, there's a past article that I wrote for YCAB (Yayasan Cinta Anak Bangsa - a non-profit organisation for helping unfortunate children) in 1999 (I was in the junior-high-school's last year). The article is written in Indonesian, and titled 'Warna-warninya Persahabatan' (Colourfull Friendship, in English) and was purposed as a contribution towards YCAB's anti-racism movement (I forget the exact event).

This article may not be a very good one, but it's special for me since I'm the one who wrote it :)
So, I decide to put it here, as part of my 'landmark of memory'

----------------------------------------------------------------

-WARNA-WARNINYA PERSAHABATAN-
(written by: Rina @1999 for YCAB (Yayasan Cinta Anak Bangsa))


Setiap orang dalam kehidupannya sehari-hari memiliki teman. Bedanya, ada yang lebih fasih berkomunikasi secara langsung dan ada yang tidak. Golongan yang pertama ini kebanyakan ( menurut pengalaman ) tagihan telponnya selangit. Jelas sekali kalau telpon merupakan media tercepat yang kedua setelah telepati dalam berkomunikasi (kalau suatu saat nanti telepati dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Siapa tahu?). Dan timbullah julukan mr, atau miss Kring..Kringg… ( yang tak bisa lepas dari telpon ).

Golongan yang kedua lebih tenang. Biasanya sih media yang digunakan adalah melalui surat. Ada beberapa orang yang fasih berkomunikasi melalui surat, padahal kenyataan dalam kehidupan sehari-harinya hampir-hampir tak pernah bicara. Meskipun begitu, bukan berarti orang yang gemar berkorespondensi adalah orang-orang yang sehari-harinya pendiam atau terkucilkan. Banyak juga orang-orang supel yang gemar berkorespondensi. Apalagi rasa-rasanya akhir-akhir ini dunia perkorespondensian semakin marak, dan mulai menjurus ke trend.

Mengenai korespondensi, kegiatan ini cukup beresiko bagi orang-orang yang gemar bersahabat dengan bermodalkan ‘tampang’ alias penampilan luar. Permasalahannya, kita tentunya tidak bisa melihat wajah si penulis melalui surat. Kalaupun meminta foto, artinya kita harus bersahabat dulu dengan si penulis, karena tentunya kita tidak memberikan foto pada sembarang orang kan? Dari sinilah kemudian terjadi peristiwa dimana tiba-tiba saja si sahabat pena ‘kabur’ setelah mengetahui kita tidak seperti yang mereka bayangkan. Entah karena kurang cantik atau tampan, kurang kaya, kurang tinggi atau malahan terlalu jangkung, terlalu gemuk, atau –ini dia- berbeda ras.

Saya mulai berkonsentrasi pada kegiatan perkorespondensian ini sejak sekitar setengah tahun yang lalu. Sebenarnya saya sudah memulainya dari waktu yang cukup lama, berawal dari surat-menyurat antar saudara. Setengah tahun yang lalu, saya tergelitik untuk mencari sahabat pena dari seluruh Nusantara. Usaha ini saya mulai dengan perasaan yang tak menentu. Pertama-tama, dua pucuk surat saya kirim dengan rasa berdebar yang sangat. Apakah surat tersebut akan dibalas, berulang kali saya bertanya dalam hati. Ketika ternyata surat tersebut dibalas, timbul permasalahan baru. Ternyata ras dan agama kami berbeda. Saya sangat khawatir kalau-kalau si sahabat baru ini akan memutuskan persahabatan karenanya. Saya berusaha menutup-nutupinya. Sebisa mungkin tak saya singgung tentang persoalan ini. Tetapi lama kelamaan, saya makin merasa tak nyaman. Tapi saya masih belum berani berterus terang. Saya putuskan untuk mencoba memberitahu secara tak langsung, sambil menunggu reaksinya. Dan ternyata dia tidak bereaksi apa-apa. Saya makin resah. Akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya. Ternyata ia sendiri sudah tidak asing lagi dengan berbagai macam perbedaan ini, karena di sekolahnya pun terdiri dari para siswa yang bermacam-macam. Saya sungguh merasa lega. Dan kalau sekarang saya ingat peristiwa itu, rasanya itu adalah pengalaman yang lucu.

Sekarang saya memiliki lebih dari tiga puluh sahabat pena dari seluruh Nusantara. Saya jadi lebih pe-de (percaya diri) dalam bersahabat pena. Tanpa ragu-ragu lagi, saya menceritakan semua tentang saya, dan kami saling bertukar cerita tentang hal apapun juga. Memang ada beberapa orang yang rupanya keberatan dengan perbedaan-perbedaan yang ada, tetapi yang tak mempermasalahkannya pun tak sedikit. Malah jumlahnya lebih banyak. Hal ini memberi gambaran pada saya tentang keadaan tanah air, dan saya berharap suatu saat nanti takkan ada lagi masalah perbedaan di negara kita ini, bahkan di seluruh dunia. Siapa tahu?

*****

Sandal jepit saja warnanya beragam. Ada yang merah, hijau, biru, dan lain lain. Tapi toh namanya tetap saja sandal jepit.

*****

Sedari tadi kita terus membicarakan tentang perbedaan, perbedaan, dan perbedaan. Bagaimana dengan persamaan? Bukankah kalau ada perbedaan maka pasti ada persamaan? Layaknya kata ‘miskin’ dan ‘kaya’. Adanya sebutan ‘orang kaya’ adalah karena adanya ‘orang miskin’. Bagaimana kalau seandainya semua manusia memiliki tingkatan sosial yang sama? Rasanya masalah kaya dan miskin tidak akan pernah muncul, bukan? Demikian pula dengan persamaan dan perbedaan. Tuhan itu adil. Dari begitu banyak perbedaan yang ada, pasti diimbangi dengan persamaan pula. Mari kita melihat ke sekeliling kita, dan melihat betapa ternyata banyak sekali persamaan yang ada. Secara psikologis, persamaan dalam hal apa pun juga sedikit banyak memberikan rasa nyaman, karena itu berarti kita tidak sendiri pada satu sisi atau pihak. Ternyata kita memiliki teman untuk berbagi. Hal ini terbukti dari berbagai pengalaman kita sehari-hari dimana kita selalu membutuhkan seseorang. Karena itulah manusia hidupnya selalu bersosial, berkelompok, karena manusia tidak dapat hidup seorang diri di dunia ini. Apakah kita bisa membiarkan kelompok yang kompak ini terpecah dan hancur hanya karena perbedaan-perbedaan yang sebenarnya dimiliki setiap orang? ( Di dunia ini tidak ada orang yang sama persis, bahkan anak-anak yang kembar identik pun tidak sama persis satu sama lain, pasti ada perbedaannya kalau kita amati sungguh-sungguh ).

*****

Benar juga kata orang, hidup itu bagaikan sebuah kanvas yang kosong. Terserah kita mau melukisnya dengan gambar apa, warna apa. Mungkin kita lebih suka warna merah, tetapi orang lain lebih suka warna hijau. Semua ini akhirnya kembali pada selera masing-masing pribadi. Dan sekali lagi, selera setiap orang itu berbeda. Bagaimanapun, perbedaan-perbedaan ini adalah krayon yang mewarnai dunia kita sehingga menghasilkan lukisan pastel yang indah.
*****

2 Comments:

  • At 3:33 pm, Blogger Lisiani said…

    wahh..tulisan nya bagus rin.. Dulu ikut lomba BI ga toh? I mean, i think you're qualified to be a winner:)

     
  • At 7:20 pm, Blogger Rina said…

    tengkyuuu..
    hauhau... gak menang cha.
    cuma dulu gua dikirimin surat dari YMCA-nya, minta ijin kalo tulisannya bakal dipake in the future. tapi gua gak pernah denger apa2 lagi sih abis gitu. hehehe...

     

Post a Comment

<< Home